Untuk memahami akar pengertian masyarakat
madani ada baiknya, kita tengok secara sepintas beberapa paradigma besar yang
menjadi dasar perdebatan mengenai masyarakat madani.
Masyarakat madani merupakan konsep yang
berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang
beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil
society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer.
Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk
menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of
government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa
karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
- 1. Terintegrasinya individu-individu
dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan
aliansi sosial.
- 2.
Menyebarnya kekuasaan
sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat
dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
- 3. Dilengkapinya
program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program
pembangunan yang berbasis masyarakat.
- 4. Terjembataninya
kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.
- 5.
Tumbuh kembangnya
kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
- 6. Meluasnya kesetiaan
(loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
- 7. Adanya pembebasan
masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam
perspektif.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat
dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana
para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan
pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya
memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk
mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian,
masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken
for granted. Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari poses
sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji,
masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat
madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi
masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis
yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat
sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility
dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh
prasyarat masyarakat madani sebagai berikut:
- 1.
Terpenuhinya kebutuhan
dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
- 2.
Berkembangnya modal
manusia (human capital) dan modal sosial (social capital) yang kondusif bagi
terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinnya
kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
- 3. Tidak adanya
diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya
akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
- 4. Adanya hak, kemampuan
dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya untuk terlibat dalam
berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat
dikembangkan.
- 5. Adanya kohesifitas
antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai
perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
- 6. Terselenggaranya
sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan
sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
- 7.
Adanya jaminan,
kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur,
terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani
hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada
masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme
yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia.
Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani
pada tahun 1995 oleh Datuk Anwar Ibrahim, yang kemudian diikuti oleh Nurcholis
Madjid (Mahasin, 1995: ix), sejak itu pula upaya untuk mewujudkan masyarakat
madani telah “menggoda” dan memotivasi para pakar pendidikan untuk menata dan
mencari masukan guna mewujudkan masyarakat madani yang dimaksud. Namun,
pihak-pihak yang skeptis meragukan keberhasilan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat
madani. Dalam hal ini, masyarakat madani adalah sebuah impian (dream)
suatu komunitas tertentu. Oleh karena itu, banyak pihak meragukan upaya bangsa
Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang diharapkannya, karena
formatnya pun belum jelas. Banyak pihak memberikan dugaan bahwa Indonesia masih
akan jauh dari pembentukan masyarakat madani karena demokratisasi pendidikan
belum berjalan lancar, sistem pendidikannya masih menerapkan faham kekuasaan,
masih terlalu berbau feodal, dan belum memperhatikan aspirasi kemajemukan
peserta didik secara memadai. Jika reformasi dan inovasi pendidikan memang
mendesak untuk dilakukan dan agar kita memiliki andil dalam membentuk dan
menghadapi masyarakat madani, maka permasalahannya antara lain adalah, “sampai sejauh
mana pemahaman kita tentang makna masyarakat madani (ontologinya)?, nilai-nilai
manfaat apa yang diperoleh dengan terbentuknya masyarakat madani
(aksiologinya)?, dan bagaimana pemecahan masalahnya atau bagaimana cara
melaksanakan demokratisasi pendidikan untuk mewujudkan masyarakat madani
(epistemologinya)?, bagaimanakah arah reformasi dan inovasi pendidikan harus
dilakukan?, bagaimanakah agar demokratisasi pendidikan itu berjalan mulus tanpa
hambatan dan penyimpangan?, bagaimana kekuasaan dan kepentingan pribadi atau
golongan tidak menggoda untuk menunda demokratisasi pendidikan?. Mengingat
banyaknya masalah yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat madani, maka pada
kesempatan ini pembahasan dibatasi pada apakah makna masyarakat madani itu,
apakah manfaat mewujudkan masyarakat madani itu?, dan bagaimana cara mewujudkan
masyarakat madani melalui pendidikan demokratisasi pendidikan?
Definisi dari istilah civil society adalah sebagai
seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan
yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan
berbagai konflik kepentingan antar individu, masyarakat, dan negara. Sedangkan civil
society menurut Havelseperti yang dikutip Hikam
(1994: 6) ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang
aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan penciptaan bersama batang
tubuh politik partisipatoris yang murni. Gerakan penguatan civil
society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan
solidaritas dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik.
Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah usaha untuk memulihkan
kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk
meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala yang mereka lakukan
atas nama pemerintah.
Gellner (1995:2) menyatakan bahwa masyarakat
madani akan terwujud manakala terjadi tatanan masyarakat yang harmonis, yang
bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani
ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan.
Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani
tidak bisa ditekan, ditakut-takuti, dicecal, diganggu kebebasannya, semakin
dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu, perjuangan menuju
masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses panjang dan produk sejarah
yang abadi dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para penguasa menjadi
ciri utama masyarakat madani.
Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada
awal pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan
dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal kemerdekaan. Jiwa demokrasi Soeltan
Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama
di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto,
tuntutan perjuangan transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi
ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh utamanya adalah Amien
Rais dari Yogyakarta.
Gellner seperti yang dikutip Mahasin (1995:
ix) menyatakan bahwa masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa Inggris, civil
society. Kata civil society sebenarnya berasal dari bahasa Latin
yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan society yang
berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk
kata civilization yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil
society dapat diartikan sebagai komunitas masyarakat kota yakni
masyarakat yang telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini menurut Madjid
seperti yang dikutip Mahasin (1995: x) pada awalnya lebih merujuk pada dunia
Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata
atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah, yang
masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan yang sempit,
masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan
kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat negatif
lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut Suwardi (1999:67) seperti
yang ditunjukan oleh perilaku manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos
bahwa hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan menggunakan
kekuatan ABRI untuk mempertahankan staus quo. Lebih lanjut
ditambahkan oleh Suwardi (1999:67) bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu
masyarakat madani bukanlah masyarakat yang bebas dari senjata atau ABRI
(sekarang TNI); civil society tidak berkebalikan dengan
masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan orang awam.
Rahardjo (1997: 17-24) menyatakan bahwa
masyarakat madani merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, civil
society. Istilah civil society sudah ada sejak
Sebelum Masehi. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil
society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil
society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab
seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri.
Dengan konsep civility (kewargaan) danurbanity (budaya
kota), maka kota difahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan
juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan
Istilah madani sebenarnya berasal dari bahasa
Arab, madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang
berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian berubah istilah menjadi madaniy yang
artinya beradab, orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata.
Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya
mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani menurut Madjid (1997: 294)
kerapkali dipandang telah berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter
dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di Amerika Latin, Eropa
Selatan, dan Eropa Timur.
Masyarakat madani identik dengan civil
society, artinya suatu gagasan, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu
komunitas yang dapat terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial. Dalam
masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan
kemanusiaan. Masyarakat madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan
kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin
plural dan heterogen. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat diharapkan mampu
mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban.
Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global,
kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.
Masyarakat madani menurut Rahardjo ialah
masyarakat yang beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada konsep civil
society juga berdasarkan pada konsep negara-kota Madinah yang dibangun
Nabi Muhammad SAW pada tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada konsep tamadhun(masyarakat
yang berperadaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep Al
Madinah al fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan
oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan.
Dalam memasuki
milenium III, tuntutan masyarakat madani di dalam negeri oleh kaum reformis
yang anti status quo menjadi semakin besar. Masyarakat madani
yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan
desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar, jujur, adil,
mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara,
berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak
asasi manusia.
Sumber : Iwa Kartiwa (otakkurusak.wordpress.com)